Anggota Komisi I DPR RI, FayakhunAndriadi, menilai Malaysia kini semakin mendikte Indonesia dalam
penyelesaian koordinat perbatasan kedua negara dengan cara melakukan diplomasi
yang memerlukan waktu yang lama.
“Penyelesaian titik koordinat batas wilayah RI-Malaysia melalui
jalur diplomasi akan memakan waktu lama dan membutuhkan kemampuan diplomasi
yang kuat,” kata salah satu anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) itu di Jakarta,
Senin (13/9).
Sayangnya, menurut FayakhunAndriadi, kekuatan diplomasi Indonesia tidak tercermin dengan baik saat
pertemuan di Kota Kinabalu, Malaysia, 6 September lalu.
“Padahal itu dinantikan oleh jutaan warga Indonesia yang sudah
geram dengan ‘insiden Tanjung Berakit’ (penangkapan tiga petugas KKP di
perairan dekat Pulau Bintan, Provinsi Kepri), yakni kejelasan soal pengakuan
Malaysia atas wilayah arsipelago Indonesia berdasarkan Hukum Internasional atau
UNCLOS,” katanya.
Mengacu kepada UNCLOS yang merupakan salah satu produk PBB,
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia secara langsung mendapat
pengakuan atas 12 mil laut dari batas landas kontinennya, serta 200 mil laut
zona ekonomi ekslusif (ZEE).
Anehnya, Malaysia yang sebagian besar daratannya tersambung dengan
benua Asia, mau menyatakan diri pula sebagai negara kepulauan secara sepihak,
sehingga mengklaim batas-batas wilayah buatan sendiri.
Tidak Jelas
Fayakhun Andriadi mengatakan,
hasil yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri RI Martiy Natalegawa hanyalah
lahirnya kesepakatan kedua pihak untuk menghindari peristiwa seperti insiden 13
Agustus 2010 tersebut.
Juga, lanjutnya, Marty Natalegawa dinilai terlalu bangga
mengungkapkan akan ada tiga pertemuan lagi selang empat bulan ke depan, tanpa
target yang jelas soal penuntasan titik koordinat tapal batas kedua negara.
“Pertemuan bernama ‘joint commission for bilateral cooperation’
(JCBC) RI-Malaysia di Kinabalu itu tidak mampu membuat tetangga yang melecehkan
tiga petugas Kemeneritan Kelautan Perikanan (KKP) kita minta maaf,” ujarnya.
Fayakhun berpendapat, diplomasi kita semakin lemah di mata Malaysia.
Atas sengketa RI-Malaysia yang makin memanas, Komisi I DPR
berencana memanggil Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko
Suyanto, untuk menjelaskan perihal dilepaskannya tujuh nelayan Malaysia.
“Komisi I DPR telah melayangkan surat kepada Menteri Koordinator
Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto untuk meminta
penjelasan terkait dengan pelepasan nelayan Malaysia yang lebih dulu dilepaskan
dibanding petugas KKP yang ditahan Polisi Diraja Malaysia,” kata anggota Komisi
I DPR, Fayakhun Andriadi di Jakarta, Minggu (29/8).
Surat tersebut sudah dilayangkan kepada Djoko Suyanto pada hari
Jumat (27/8/2010). “Dalam surat itu, Komisi I DPR minta Djoko Suyanto datang
pada hari Senin (30/8/2010),” kata Fayakhun.
Menurut dia, yang paling bertanggung jawab dengan kejadian
tersebut, terutama adanya perbedaan waktu pelepasan tujuh nelayan Malaysia
dengan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Kita berharap ada itikad baik dari Djoko Suyanto untuk memenuhi
panggilan Komisi I tersebut. Nelayan Malaysia dilepaskan tanggal 17 Agustus
1010 sekitar pukul 07.00 WIB. Sementara petugas kita dilepas pukul 09.00 WIB
oleh polisi Malaysia. Ada apa ini dan siapa yang bertanggung jawab,” kata
politisi Golkar itu.
Menurut dia, instansi yang berwenang dalam kasus penahanan tiga
petugas KKP dan pelanggaran wilayah Indonesia saling lempar tanggung jawab.
“Sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto harus
menjelaskan hal tersebut,” kata Fayakhun.
Hingga hari ini, publik tetap saja masih menganggap pemerintah
lembek dalam mengatasi masalah ini. Maka wajar saja kalau kecemasan publik atas
pemerintah terus terjadi. Apalagi, kisruh ini selain mengusik solidaritas juga
menyinggung nasionalisme dan kedaulatan Republik Indonesia.
Dalam kondisi ini, selain dibutuhkan ketahanan mental, keberanian,
dignity dan kekuatan soft power, pemerintah juga harus percaya diri dalam
mengambil sikap. Sehingga, mau tidak mau, Malaysia harus belajar dari kasus
yang sengaja dibuatnya.
Namun, jika Presiden SBY lembek, jangan harap kedaulatan Indonesia
sebagai negara besar terus dihargai dalam pergaulan internasional. Bahkan, jika
masih mencla mencle, martabat itu luntur di mata internasional maupun di
hadapan warganya sendiri.
Komentar
Posting Komentar